Pemerintah Menyembunyikan Fakta




Sehari setelah pembantaian manusia muslim ini, Pangab Jenderal Beny Murdani dan Pangdam Jaya Try Sutrisno mengumumkan, bahwa korban yang terbunuh hanya 9 orang dan yang luka- luka berjumlah 35 orang. Sedangkan tentara dari berbagai macam kesatuan yang menjaga markas polisi  ketika  peristiwa  terjadi  tidak  lebih  dari  15  orang  saja.  Mereka  dipaksa  melepaskan tembakan karena tidak ada alternatif lain, dan sudah sesuai prosedur. Kejadian ini adalah akibat dari agitasi selebaran-selebaran dan pamflet yang tendensius, yang membakar emosi keagamaan massa.
Menurut versi Beny Murdani, kronologi peristiwa Tanjung priok adalah sebagai berikut:
“Mula-mula petugas keamanan berusaha mene-nangkan emosi massa dengan cara-cara yang persuasif, tetapi dibalas dengan teriakan “Tidak setuju”. Teriakan-teriakan massa ini semakin menjadi-jadi, sambil mereka maju mendekati petugas keamanan dan memepet mereka. Ketika mereka merasa terancam bahaya barulah petugas keamanan melepaskan tembakan peringatan ke udara. Oleh karena massa tidak juga mengindahkan peringatan tersebut, barulah tembakan diarahkan ke kaki, sehingga sulit dihindari jatuhnya korban. Massa ternyata tidak mau bubar sehingga didatangkan pasukan tam-bahan. Setengah jam kemudian massa mengamuk menyerang petugas  untuk  kedua  kalinya.  Menyaksikan  situasi  genting,  petugas  terpaksa  melepaskan tembakan untuk mencegah massa merebut senjata, melaku-kan penyerangan dan pengeroyokan terhadap petugas”.
Masyarakat di daerah ini sejak semula tidak mempercayai keterangan Beny Murdani, karena banyak diantaranya yang mengalami penderitaan dan orang tahu, bahwa persoalan ini sangat kontroversial. Banyak selebaran dan pamflet yang beredar di masyarakat tetapi tidak ada yang berani menuliskan identitasnya pada pamflet tersebut. Selebaran-selebaran ini diperbanyak lagi di

kota-kota lain sehingga ada yang sampai ke luar negeri, tapi anehnya tidak satupun koran-koran dalam  negeri  yang  memuatnya.  Sudah  barang  tentu,  ada  juga  berita-berita  sederhana  yang diekspos berdasarkan keterangan resmi yang diberikan Beny Murdani.
Mereka yang menjadi korban kasus ini diisolasi oleh tentara, dan hanya seorang saja yang
jenazahnya dikembalikan kepada keluarganya, yaitu jenazah Amir Biki, korban pertama pembantaian. Jenazah Amir Biki dikembalikan kepada keluarganya untuk dimakamkan lantaran bantuan dari Wagub DKI Jakarta, Mayjend. Edi Nalapraya, teman dekat Amir Biki dan orang yang tadinya dimintai tolong untuk membebaskan para tahanan. Amir Biki dan Nalapraya telah berhubungan sejawat sejak tahun 1965, ketika Amir Biki membantu militer menghadapi PKI. Sedangkan Nalapraya adalah mantan intelejen di bawah pimpinan Beny Murdani. Ketika ia memperoleh   pangkat   jenderal,   dia   ditunjuk   menjabat   wagub   DKI   Jaya   yang   wilayah kekuasaannya  meliputi  daerah  Tanjung  Priok.  Pengangkatan  ini  tidak  umum  bagi  seorang jenderal, tetapi karena Nalapraya orang yang berdarah Betawi, dan punya pengetahuan men- dalam tentang kehidupan masyarakat Tanjung Priok, maka dia dianggap orang yang tepat menduduki jabatan wakil gubernur. Dia juga mantan wakil Pangdam Jaya. Selebaran-selebaran dari   Jakarta  menyebutkan  bahwa   sebelum  meletusnya  kasus   Tanjung  Priok,   Nalapraya sebenarnya sudah menginformasikan kepada Amir Biki, bahwa pemerintah menda-pat tekanan kuat untuk meninjau kembali RUU orsospol yang kontro-versial itu, dan mungkin sekali tekanan ini membawa hasil.
Seingat kami, masih ada tiga korban lagi yang dikuburkan dengan sepengetahuan keluarga mereka, tapi siapa nama mereka itu masih misteri. Sedangkan korban-korban lainnya dikuburkan oleh pihak militer tanpa sepengetahuan keluarga mereka. Adapun korban yang luka-luka yang dibawa  ke  RS  militer  diobati  secara  tidak  semestinya.  Ada  sebagian  korban  yang  selama berbulan-bulan opname di RS militer ini tanpa mendapat perawatan sama sekali; bahkan peluru yang masih bersarang ditubuhnya pun tidak dikeluarkan, sehingga selama mereka tinggal di RS dapat dikatakan sebagai pasien yang disandera. Hal ini berlangsung berbulan-bulan lamanya sebelum keluarga mereka mengetahui tempat penampungannya.
Segera setelah berita malapetaka ini tersebar di Jakarta, pada tanggal 17 September, lima hari setelah kejadian, 22 orang anggota petisi 50 menerbitkan Lembaran Putih yang berisi tantangan terhadap keterangan Beny Murdani, dengan memuat data-data yang lebih akurat yang disam- paikan oleh para saksi mata. Petisi 50 menuntut supaya segera diadakan penyelidikan oleh tim independen atas kejadian ini. Sekalipun lembaran putih ini tersiar dengan cepat, namun koran- koran Indonesia tidak satu pun yang mengeksposnya. Bahkan tidak satupun yang berani memuat keterangan para saksi yang menyampaikan kesaksiannya dalam persi-dangan kasus ini.
Sebagaimana disebutkan dalam pamflet, bahwa orang yang berbicara di dalam pengajian yang kemudian menimbulkan demonstrasi itu ada empat orang. Pertama, Amir Biki yang disebut sebagai pimpinan demons-tran dan orang yang pertama kali melepaskan tembakan. Kedua, Salim Qadar  ditangkap  pada  2  Oktober  1984,  untuk  selanjutnya diajukan  ke  pengadilan. Setahun kemudian, Nopember 1985, dia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan dua orang terdakwa lainnya (Syarifin Maloko dan Mohammad Nasir), bersembunyi lebih dari 1,5 tahun. Pada 11 April 1985 kantor berita AFP menyiarkan bahwa kedua orang ini telah tertangkap, dan beberapa koran memberitakan keduanya akan segera diajukan ke pengadilan. Tetapi pemerintah tidak menjelaskan, apakah keduanya akan dikenai tahanan atau tidak. Pengadilan telah menolak berbagai macam permohonan untuk melakukan pembelaan bagi terdakwa, sementara kedua orang itu diminta untuk memberikan kesaksiannya. Posisi kedua orang ini menjadi sangat misterius, khususnya menyangkut persidangan kasus Jenderal Darsono, di mana Darsono menyarankan agar kedua orang ini dimintai keterangan mengenai peran mereka dalam kasus Tanjung Priok. Pada tanggal 16 Juni 1986, beberapa bulan setelah berakhirnya persidangan kasus di atas, barulah Syarifin Maloko ditahan disuatu tempat di Jawa Barat. Dia ditangkap oleh salah seorang perwira yang  mengenalinya  ketika    berceramah  di  sebuah  masjid.  Dari  kejadian  ini  orang  dapat memahami, bahwa sebenarnya dia tidak bersembunyi dan tidak pula melakukan suatu tindakan sehingga  patut  ditahan.  Sebuah  majalah  mingguan  Indonesia  menyebutkan,  bahwa  semasa menjadi pelarian, Syarifin Maloko muncul diberbagai kesempatan memberi ceramah di daerah Merak Jawa barat.


EmoticonEmoticon