Dalam rentang waktu antara 1945-1949, merupakan masa-masa
penuh gejolak dengan terjadinya
dua kali peperangan, yang dilancarkan
oleh pemerintah kolonial
Belanda guna mengembalikan
kekuasaannya dan menghancurkan Repubik
Indonesia yang baru lahir. Pada masa-masa ini kita menyaksikan berbagai
konfrontasi terbuka antara kelompok-kelompok
bersenjata Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang
bersenjata Islam. Pembentukan tentara
nasional pada tahun 1945,
cikal bakalnya diambil dari pasukan yang dilatih oleh Jepang. Dan di antara anggotanya
adalah seorang yang kini menjadi kepala negara Indonesia, yaitu Soeharto. Tentara ini dibentuk pada
masa pendudukan Jepang,
dari tahun 1942-1945 yang disebut dengan PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan-kesatuan Jepang yang dilatih
untuk membela ibu pertiwi.
Namun PETA bukanlah satu-satunya tentara yang berjuang membela negara. Di luar
kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi diantaranya milisi
Hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hingga mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan putra-putra Indonesia tahun 1949.
Usaha Jepang untuk membentuk milisi-milisi Islam sejak awal telah gagal, kecuali PETA,
yaitu
kesatuan Jepang yang diberi latihan kemiliteran seperti tersebut di atas. Para anggota PETA
sebagian besar berasal dari kaum abangan, yaitu mereka yang secara formal mengaku
muslim tetapi realitas sehari-harinya dikuasai
oleh budaya Jawa sebelum Islam. Adapun milisi Hizbullah, sekalipun dibentuk juga oleh
Jepang, namun
baru bisa tumbuh
berkembang setelah
Jepang
dikalahkan tentara sekutu.
Setelah
proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945, pasukan Hizbullah menjadi kesatuan-
kesatuan tentara yang dominan, khususnya di
wilayah-wilayah yang kuat Islamnya, seperti daerah
Jawa Tengah. Tentara Indonesia berkeinginan keras untuk menyatukan seluruh
kelompok- kelompok milisi ke dalam lingkungan
TNI, dan bertekad menumpas habis pihak manapun yang menolak perintahnya. Akan tetapi, melumpuhkan
kekua-tan Hizbullah bukanlah
hal yang mudah; akibatnya bentrokan sengit tidak bisa dihindari, dan bentrokan paling buruk dan tragis
adalah yang terjadi
di daerah Jawa Barat.
Pada tahun 1947 seluruh
kesatuan militer yang berada
di Jawa Barat dan Jawa Tengah
ditarik mundur, sebagai realisasi
atas persetujuan yang telah disepakati oleh tentara Indonesia
dan pihak Belanda pada tahun itu juga. Namun pasukan Hizbullah tetap pada pendiriannya,
dan menolak untuk meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya itu serta bertekad
melakukan perang gerilia.
Bukan itu saja, pasukan republik yang tidak menarik diri itu, bahkan berubah nama menjadi
Darul Islam (DI) dan menyebut
sayap militernya sebagai Tentara
Islam Indonesia (TII).
Pada awal tahun 1949, sesudah ibukota Republik
Indonesia, Yogya-karta jatuh ke tangan
Belanda, pasukan Republik kembali ke Jawa Barat dalam keadaan
kocar kacir, sementara itu mereka menghadapi perlawa-nan keras dari TII di bawah komando Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo. Darul Islam menolak tunduk terhadap usaha-usaha tentara untuk me-ngembalikan kekuasaan republik atas daerah Jawa Barat (yang pernah ditinggalkannya). Sebaliknya mereka memproklamasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang menikmati hak-hak otonomi secara
rasional.
Dan pada awal tahun 1960-an, ketika tentara Indonesia
berhasil menumpas
gerakan Darul Islam, sejak saat itu nama SM. Kartosuwiryo beserta orang-orang yang bergabung
dalam gerakan melawan republik, di dalam sejarah
kemudian disebut sebagai
kelompok pengkhianat dan pemberontak negara.
Dan sampai sekarang
gerakan Darul
Islam tetap dicap sebagai perusak negara
dan penyeleweng ideologi
negara. Akibat begitu banyaknya bentrokan-bentrokan yang
terjadi dengan kaum musli-min diberbagai daerah Republik Indonesia
sehingga menyebabkan
pepera-ngan yang panjang. Peristiwa
ini sangat membekas di dalam hati perwira-perwira
tinggi,
dan menumbuhkan rasa
permusuhan yang mendalam terhadap
para pejuang muslim, sehingga muncul kepercayaan, bahwa mereka harus memperlakukan para pejuang
muslim secara otoriter.
EmoticonEmoticon