Reformasi yang di perjuangkan oleh seluruh lapisan
masyarakat membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah.
Salah satu agenda reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan
Otonomi daerah.. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah telah
mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Dengan adanya UU No. 22/1999 terjadi perubahan signifikan
mengenai hubungan legislaif dan eksekutif di daerah, karena kedua lembaga
tersebut sama-sama memiliki “power”.
Dalam pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa “di daerah dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah
sebagai Badan Eksekutif Daerah.” Sementara itu yang dimaksudkan dengan
Pemerintah Daerah adalah hanya “Kepala Daerah beserta perangkat daerah
lainnya:” Dan yang penting dari itu adalah “kedudukan” diantara kedua lembaga
tersebut bersifat “sejajar dan menjadi mitra.”
Implikasi positif dari berlakunya Undang-undang tentang
Otonomi Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hak-hak DPRD,
diharapkan DPRD yang selanjutnya disebut dewan akan lebih aktif didalam
menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian mengadopsinya
dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama Kepala Daerah
(Bupati dan Walikota).
Dampak lain yang kemudian muncul dalam rangka otonomi
daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai salah prasyarat
penyelenggaraan pemerintah dengan mengedepankan akuntanbilitas dan
transparansi. Untuk mendukung akuntabilitas dan transparansi diperlukan internal control dan eksternal control yang baik serta dapat
dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka peran dari dewan
menjadi semakin meningkat dalam mengontrol kebijaksanaan pemerintah. Menurut
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran menjelaskan bahwa: 1) Pengawasan atas anggaran
dilakukan oleh dewan, 2) Dewan berwenang memerintahkan pemeriksa eksternal
didaerah untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan anggaran.
Secara umum, lembaga legislatif mempunyai tiga funsi
yaitu: 1) fungsi legislasi (fungsi membuat peraturan perundang-undangan), 2)
fungsi anggaran (fungsi untuk menyusun anggaran) dan 3) fungsi pengawasan
(fungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif). Dalam penelitian ini fungsi dewan
yang akan dibahas adalah fungsi pengawasan anggaran. Permasalahannya adalah
apakah dalam melaksanakan fungsi pengawasan lebih disebabkan pengetahuan dewan
tentang anggaran ataukah lebih disebabkan karena permasalahan lain. Disamping
itu, apakah partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik juga akan
berpengaruh terhadap pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan.
Pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor eksternal (Pramono, 2002). Faktor internal
adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang berpengaruh secara langsung
terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, salah satunya adalah pengetahuan
tentang anggaran. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh dari pihak luar terhadap
fungsi pengawasan oleh dewan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap
pengawasan yang dilakukan oleh dewan, diantaranya adalah adanya partisipasi
masyarakat dan transparansi kebijakan publik.
Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Andriani (2002)
yang menyimpulkan bahwa pengetahuan anggaran berpengaruh secara signifikan
terhadap pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh dewan. Sementara
Pramono (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menunjang fungsi pengawasan
adalah adanya reformasi dan legitimasi wakil rakyat sedangkan faktor-faktor
yang menghambat fungsi pengawasan adalah minimnya kualitas sumber daya manusia
(SDM) dan kurangnya sarana dan prasarana.
Penelitian yang menguji apakah adanya
partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik akan meningkatkan
fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menguji kembali penelitian
Andriani (2002) dengan memasukkan partisipasi masyarakat dan transparansi
kebijakan publik sebagai variabel moderating yang diharapkan akan memperkuat
atau memperlemah hubungan tersebut.
SOPANAH
Universitas Widya Gama Malang
Mardiasmo
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
EmoticonEmoticon