Pemerintah mulai melakukan sejumlah tindakan,
yang bertujuan memati-kan gerakan baru ini. Soeharto dan konco-konconya menempuh
cara-cara yang dahulu pernah digunakan oleh penjajah Belanda terhadap Islam. Penjajah
Belanda dahulu berpendapat, Islam perlu diberi kebebasan
melakukan ibadah, bahkan
diberi vasilitas, selama umat
Islam
hanya menjalankan ritualitas keagamaan saja. Akan tetapi, jika sekarang kaum muslimin mulai menyusun langkah-langkah politik, maka harus ditindak tegas.
Sebelum pemilu 1977, PPP mempunyai optimisme besar dalam diri-nya. Karena itu beberapa jenderal bersekongkol untuk melakukan
makar, diantaranya dengan melakukan dua rencana, yang pertama,
menampil-kan Golkar sebagai front Islam. Untuk itu mereka menyogok beberapa orang ulama untuk bergabung ke dalam Golkar.
Tugas ini dibebankan kepada Amir Murtono,
seorang tokoh
yang menonjol di Golkar. Langkah kedua, menugaskan seorang tokoh
baru
intelijen militer bernama
Ali Murtopo untuk memancing
aktivis muslim melakukan tindakan
kriminal dan menimbulkan kerusuhan.
Kedua
manuver politik tersebut terus berjalan hingga hari ini, sekalipun
PPP sudah tidak memiliki kemampuan apa-apa, tetapi yang menjadi sasaran utama operasi ini adalah kelompok- kelompok kecil inde-penden yang mulai bermunculan.
Operasi
pertama Ali Murtopo adalah merekrut mantan aktivis gerakan Darul Islam. Setelah
dibebaskan dari penjara
pada awal dasa-warsa
1960-an, dan sebulan sebelum
berlangsungnya Pemilu bulan Juli 1967, segala tindakan
mereka senantiasa dalam pengawasan militer. Panglima Kopkamtib,
Laksamana
Soedomo mengumumkan, bahwa ada sekitar anggota kelompok
Komando Jihad telah ditangkap
di Asahan (Sumatera Utara), Riau, Lampung (Sumatera Selatan), Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka yang tertangkap ini adalah para pendukung Darul Islam. Beberapa tahun setelah
diadili, sebagian dari mereka mengungkapkan dengan penuh penyesalan bahwa mereka dahulu telah diperalat oleh BAKIN (Badan Koordinasi
Intelijen) mela-kukan operasi-operasi
khusus. Akan tetapi Ali Murtopo membantah adanya tim semacam itu di tubuh BAKIN. Tujuan utama dimunculkan-nya issu KOMJI (Komando Jihad)
sebenarnya untuk memberikan kesan kepada masyarakat, bahwa gerakan teroris itu memang ada;
dengan demikian umat Islam merasa tercekam, dihantui rasa ketakutan.
Operasi yang dilakukan oleh badan intelijen
semacam ini merupakan alat politik rezim Soeharto. Pengumuman
tentang berbagai komplotan teroris yang diissukan itu berlangsung dalam kondisi tertentu,
yaitu bila
menghadapi peristiwa-peristiwa politik penting, misalnya menjelang pemilu,
atau
pemilihan presiden, pengajuan RUU kepada DPR karena pada moment seperti ini suhu politik semakin memanas. Kelompok-kelompok yang dituduh melakukan
kegiatan teror terbukti di kemudian hari, umumnya
adalah
orang-orang
yang
direkrut melalui rekayasa dan
tipu
daya.
Dan
penyelesaian perkaranya di persidangan, hanya didasarkan
pada BAP (Berita Acara Pidana) yang dibuat
oleh penyidik.
Terdapat rangkaian
panjang dari “operasi teroris” yang tidak pernah sekalipun
terungkap kepermukaan, tetapi orang-orangnya tetap diseret ke pengadilan, kemudian menjerumuskan
aktivis gerakan muslim. Pernah disiarkan
secara terperinci tentang gerakan teror yang direkayasa
bebe-rapa hari sebelum berlangsungnya SU MPR
1978, ketika pemerintah pertama kali mengambil langkah untuk memaksakan
Pancasila diterima sebagai asas tunggal bagi kehidupan
berbangsa. Pada awal dasawarsa 1980-an ada dua kelompok Islam yang disebut sebagai
ekstrim dan dituduh
hendak
melakukan
kegiatan teroris.
Pertama, adalah kelompok Warman
yang
dituduh telah melakukan banyak
pembunuhan. Tapi ternyata tidak terdapat bukti sedikitpun yang membenarkan tuduhan itu. Sebab Warman telah terbunuh oleh ABRI ketika tempat persem-
bunyiannya diserbu pada tahun 1981.
Kedua, kelompok Imran
bin
Muhammad Zein,
yang dituduh
melakukan
serangan terhadap salah satu
markas
polisi
di
Cisendo
Jawa
Barat
dan
menewaskan tiga orang petugas. Kemudian kelompok ini membajak pesawat pada bulan Maret
1981. Penyelidikan
atas kasus ini tidak pernah tuntas karena para pemba-jaknya
mati tembak di tempat. Lima orang ditembak ketika pasukan menyebu pesawat dan orang keenam ditembak saat
berada dalam tahanan.
Di persidangan terungkap bahwa kelompok Imran hanya diperalat
oleh badan intelijen
untuk mendeskreditkan kaum muslimin. Akan tetapi masalah ini belum pernah dibuktikan secara valid. Berbagai tuduhan yang dilontarkan
kepada Warman dan Imran mencapai puncaknya bersamaan
dengan pemilu 1982.
Pada tanggal
4 Maret 1983, sebelum Soeharto
terpilih kembali sebagai presiden,
para tokoh Islam di Jawa Timur menjadi sasaran penculikan
yang dibeking militer. Hal ini berjalan
selama berbulan-bulan sehingga
menewaskan ratusan orang. Penyelidikan terhadap kasus-kasus
penculi- kan ini ternyata tidak menghasilkan
apa-apa. Sebab para tokoh Islam di wilayah ini merasa ketakutan untuk mengungkapkan
apa yang mereka ketahui tentang diri para korban dan para penjahat yang melakukan penculikan.
Para muballigh Islam ini selalu
menjadi sasaran intimidasi, mereka sering mendapatkan
peringatan agar menyerahkan
teks khotbah sebelum disampaikan
kepada umat. Ada sementara muballigh yang di black list dan nama-nama mereka dikirimkan kepada
takmir masjid agar tidak
menggunakan muballigh tersebut.
Pada suatu ketika militer memaksa salah seorang muballigh
yang
ketika itu namanya demikian populer tetapi
selalu menyampaikan kritik terbuka kepada rezim penguasa, namun dia menolak
lalu diculik oleh beberapa orang perwira dan dipukuli
hingga babak belur. Para penasehat hukum yang bermaksud melakukan
pembe-laan menemui para perwira yang melakukan
penculikan,
dan juga
menemui
Laksamana
Soedomo, tetapi
akhirnya para penasehat hukum
ini disuruh supaya mengundurkan diri dari kasus
tersebut.
Muballigh yang dimaksud dalam kasus
di atas bernama AM. Fatwa, anggota pendiri
Petisi 50, yang didirikan bersama para politikus muslim dan nasionalis, pada awal tahun 1980.
Gerakan
Islam
terus
bermunculan, sekalipun tekanan dari pemerintah untuk memaksa
mereka menerima asas tunggal, datang bagai gelombang dahsyat. Ketika undang-undang
ini diumumkan, sejumlah muballigh membuat lembaga baru yang disebut dengan Korp Muballigh Indonesia (KMI). Pimpinannya
terdiri dari tokoh-tokoh
Islam terkenal, seperti
mantan pimpinan
Masyumi dan mantan wakil PM, Syafruddin Prawira-negara dan AM. Fatwa. Pemaksaan
asas tunggal ini semakin
membuat marah kaum muslimin. Penentangan
yang
keras terhadap undang- undang ini mendorong
rezim penguasa untuk melakukan tindakan-tinda-kan kejam terhadap para aktivis muslim. Seorang komandan
Koramil di wilayah Dokland
daerah Tanjung Priok Jakarta Utara, sengaja mempro-vokasi
kaum muslimin agar melakukan unjuk rasa menuntut
pembebasan empat orang takmir masjid yang ditahan, tetapi oleh pihak militer dijawab
dengan brondongan senjata berat secara keji tanpa peringatan lebih dahulu sehingga
mengakibatkan ratusan orang
terbunuh dan luka-luka.
Para
penandatangan Petisi 50 menuntut tanggung jawab pemerintah
atas terjadinya peristiwa
tersebut. Mereka mengeluarkan buku putih yang menyerukan agar diadakan penyelidikan terhadap peristiwa pemban-taian tersebut. Pada saat bersamaan terjadi
serangkaian pengeboman dan pembakaran
di beberapa kota. Ratusan orang kemudian ditangkap dengan tuduhan menyebarkan buku putih yang illegal. Mengenai
pembantaian tersebut dan orang-orang
yang dituduh melakukan pele-dakan bom, sebagian besar dari mereka adalah para muballigh.
Mereka dijatuhi hukuman berat karena menyampaikan khotbah yang
ekstrim. Dan semakin banyak dilakukan persidangan-persidangan terhadap sejumlah orang dengan berbagai tuduhan, sebagian
dari mereka
adalah orang-orang yang memang taat beragama yang dituduh melakukan komplotan untuk menggulingkan Soeharto.
Persidangan kasus Tanjung Priok dimulai bulan Januari 1985, dan terus berlangsung selama dua tahun bersamaan
dengan pemilu yang jatuh pada bulan April 1987 serta pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden
pada
tahun
1988.
Dan
barangkali
persidangan
ini akan terus dilanjutkan selama dua tahun lagi.
EmoticonEmoticon