Besar kemungkinannya bahwa
konfrontasi Masyumi
dan
rezim
Soekarno
membuat sekutu- sekutunya keheranan. Akan tetapi masalahnya
tidak lagi demikian, sebab NU telah lama
bergandeng tangan dengan Soekarno dan telah diterima pula oleh Soeharto
melebihi penerimaannya terhadap Masyumi, sebuah partai yang telah menjadi penentang Soekarno.
Oleh karena itu, pemimpin Masyumi pada akhir dasawarsa
1960-an berusaha untuk
membangun partai baru, tetapi dihalangi
oleh Soeharto dengan segala macam cara. Soeharto malah menganjurkan untuk membentuk partai lain dengan nama Parmusi
(Partai
Muslimin Indonesia). Parmusi akhirnya diakui oleh pemerintah, dengan syarat anggota-anggotanya tidak boleh aktif dalam jabatan-jabatan politik. Dengan cara inilah pemerintah berhasil
mengganti Masyumi yang baru
saja hendak dilahirkan, dengan partai lain yang akhirnya terpuruk.
Sebelum
diadakan Pemilu, kalangan militer
melakukan penelitian khusus (Litsus) terhadap para calon anggota parlemen, dan menolak
mereka yang diragukan loyalitasnya pada pemerintah.
Mayoritas calon dari Parmusi dianggap
sebagai orang-orang yang masih memiliki ikatan
emosional dengan Masyumi, oleh karenanya partai ini mengalami litsus paling ketat dari pihak inteljen. Dan hampir 75% dari calon yang diajukan ditolak.
Akan tetapi sebaliknya, hanya sedikit calon-calon dari NU yang ditolak, dan barangkali yang paling
sedikit ditolak dibandingkan calon dari partai militer (Golkar), dan akhirnya dengan mudah
Parmusi dapat dikalahkan dalam pemilu 1971. Para intelijen
militer banyak yang menyu-sup ke kantor
pusat Parmusi, dan akhirnya menyebabkan hancurnya organisasi-organisasi
politik Islam yang masih tersisa.
Pada tahun 1973 Soeharto memaksa
partai-partai Islam bergabung (fusi)
menjadi satu di bawah
bendera Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Di luar dugaan pemerintah,
partai yang berfusi ini merjadi wadah bagi umat Islam, yang ternyata pengaruhnya jauh melebihi keempat
partai anggotanya semula. Dan tahun 1977, PPP meraih kursi lebih banyak dibanding
keempat
partai sebelumnya pada 1971. Target partai Islam pada umumnya sudah jelas, namun sayang
upaya-upaya
politiknya sama sekali tidak mendukung
perannya di DPR, apalagi
di dalam menangani administrasi pemerintahan. Pada dasawarsa 1970-an NU yang merupakan organisasi pendukung PPP dengan jumlah pendukung
terbesar di dalam tubuh PPP memperoleh lebih dari
60% kursi di DPR .
Partai Islam PPP menunjukkan kekuatannya
ketika
menentang UU perkawinan yang didukung pemerintah pada tahun 1973. Rencana
undang-undang ini bermaksud mengatur masalah perkawinan sesuai
dengan hukum sekuler yang oleh partai ini dianggap
sebagai langkah pemerintah untuk menjauhkan Islam dari kehidupan
sehari-hari umat-nya. Dalam persoalan
ini seluruh partai Islam bersatu menghadapi
peme-rintah, hal ini merupakan awal perbenturan
antara kaum muslimin dan golongan militer semenjak Soeharto naik ketampuk kekuasaan. Hal yang sangat
menonjol dan jauh lebih penting ialah bahwa pemerintahan
militer selalu memanfaatkan
DPR untuk menelurkan undang-undang
dengan prinsip musyawarah mufakat, sehingga tidak mungkin
bagi
partai-partai lain untuk
melakukan
penentangan terhadap setiap RUU yang diajukan. Sebagai akibatnya, kaum muslimin, terutama organisasi-organisasi
pemu-danya
mengalihkan penentangan mereka
dari eksekutif kepada badan
legislatif
sebagai
pembuat
undang-undang, sehingga mereka kemudian
menduduki gedung DPR selama beberapa jam. Agar tidak terjadi krisis berkepanjangan, akhirnya RUU perkawinan
mengalami perubahan prinsipal. Sikap mengalah pemerintah ini membuat masyarakat Islam mempunyai pandangan sedikit berubah terhadap pemerintahan militer. Walau demikian,
terjadi pula keributan-keributan lain semasa gerakan perlawanan para mahasiswa antara tahun 1974-1978 dimana kaum muslimin
memainkan peran aktif di dalamnya.
Perlawanan terhadap pemerintah bukanlah merupakan
agenda yang secara keseluruhan diterima oleh kaum muslimin.
Ada pimpinan PPP yang
memperlihatkan sikap
berbeda, misalnya yang dilakukan oleh Idham Khalid,
Ketua Umum NU. Mereka bekerjasama
erat dengan penguasa
militer, yang telah membantu
mereka untuk mengalahkan Parmusi. Dan mereka berhasil
duduk di pusat pimpinan PPP, walaupun
dukungan mereka lemah. Namun negara memberikan kepada
mereka berbagai fasilitas materi sehingga mereka
memperoleh keleluasaan yang
dapat “membeli”
dukungan Kiai lokal. Persoalannya kemudian menjadi lebih semrawut ketika militer, melalui
Golkar berhasil melakukan trik-trik tertentu merayu para ulama masuk ke dalam Golkar. Akhirnya Golkar dapat membentuk sebuah organisasi Islam bernama GUPPI (Gabungan
Usaha Pengembangan, Pendidikan
Islam).
Dalam
usahanya
untuk memperoleh dukungan
kaum muslimin, Golkar pada pemilu 1971 lebih banyak menampilkan warna santri daripada abangan. Dalam pemilu ini banyak Kiai yang terpilih, sebagai imbalannya Golkar mengirimkan
banyak pegawai negeri ke Mekah
untuk memperoleh gelar haji
dengan biaya pemerintah.
Bantuan- bantuan keuangan banyak diberikan
ke masjid dan pesantren guna melakukan renovasi
dan menaikkan pamor anggota-anggota Golkar dari kalangan Islam. Para perwira militer setempat turut pula menyumbang
sejumlah uang untuk
mendirikan masjid baru guna menciptakan hubungan baik dengan kaum muslimin. Pemerintah Indonesia juga mengambil peran positif di
dalam konfrensi negara-negara Islam (OKI), guna memberikan gambaran kepada dunia luar mengenai posisi kaum muslimin di dalam negeri, bahwa kaum muslimin, tentunya tidak hanya
sebatas Muhammadiyah dan NU saja.
EmoticonEmoticon