PENTAS ZAMAN modern masih saja
menghadirkan duka lara. Ketika memasuki gerbang tahun baru Hijrah, 1 Muharram
1421 H/6 April 2000 M, kaum muslimin bangsa
Indonesia, tinggal menuai badai-menghitung korban tragedi. Darah tertumpah, air
mata pilu, wanita diperkosa, anak-anak menjadi yatim piatu, harta benda dijarah
atau dibakar musnah. Semuanya berpadu dalam tragedi akibat bencana yang menimpa
kaum muslimin, sejak peristiwa Tanjung Priok (1984), Lampung-Talang Sari Berdarah
(1989), DOM di Aceh (1989) hingga Ambon (1999) dan Maluku Utara (2000). Seluruh peristiwa ini terjadi, bukan lantaran
kaum muslimin ikut menabur angin, lalu akhirnya
menuai badai, melainkan karena: Pertama, amanat kepemimpi-nan
bangsa ini tidak berada di tangan mereka yang
berhak menerimanya. Dan manakala amanat diberikan kepada mereka yang
tidak seharusnya menerimanya, dan karena itu dia tidak menunaikan amanah
tersebut secara benar, maka bencanalah yang akan timbul. Untuk hal ini, Allah
Swt. telah mengingatkan dengan firman-Nya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menunaikan amanah kepada ahlinya”. (Qs. An-Nisa’ 58). Kedua,
lantaran konspirasi musuh-musuh kafirin dan munafiqin yang ingin menghancurkan
Islam dan kaum muslimin. Bencana politik
yang menimpa ummat Islam di Indonesia, secara sederhana dapat dikelompokkan ke
dalam dua hal, yaitu bencana di bidang ekonomi dan HAM. Bencana kelompok
pertama dapat dilihat melalui diterbitkannya berbagai kebijakan ekonomimoneter yang
tidak memihak rakyat mayoritas.
Sedangkan bencana di bidang
HAM, dapat dilihat dari berbagai tragedi berdarah yang dialami ummat Islam,
seperti tragedi Tanjung Priok, Woyla, tragedi DOM di Aceh, Lampung (Talangsari)
Berdarah, tragedi pembunuhan ulama Banyuwangi (dengan dalih dukun santet),
tragedi genocida di Ambon-Maluku, dan sebagainya. Juga berbagai tragedi tak
berdarah lainnya, seperti kasus Usrah, Pesantren Kilat, maupun Komando Jihad
yang terjadi di awal hingga pertengahan
1980-an. Buku ini merupakan suatu upaya
kodifikasi terhadap berbagai ben-cana kemanusiaan (pelanggaran HAM) yang
menimpa ummat Islam, sepanjang tahun 1980 hingga tahun 2000. Sebagian dari
sumber buku ini, tujuh bab pertama berasal dari laporan “Tim Peduli Tapol
Amnesti Internasional”, yang pada kesempatan sebelumnya telah diterbitkan
dalam bentuk buku tersendiri, hasil terjemahan dari buku: Mihnatul Islam
fie Indonesia. Dalam edisi Indonesia diberi judul “Fakta Diskriminasi
Rezim Soeharto Terhadap Ummat Islam”, dan telah mengalami empat kali
cetak ulang. Sumber lain, khususnya tiga
bab terakhir dari buku ini ditulis oleh Al Chaidar, seorang penulis muda yang
sangat produktif, dengan berbagai judul bukunya yang tergolong best seller
dan kontroversial. Al Chaidar pada buku
ini menyoroti seputar “Rekayasa Militer dalam Kasus Lampung Berdarah”, kemudian “DOM dan
Akibatnya bagi Ummat Islam,” serta “Sikap Pemerintahan Gus Dur
terhadap Musibah yang Menimpa Ummat Islam seperti Maluku, Aceh dan sebagainya.”
Selain itu, Brigjen. (Pur)
Rustam Kastor, penulis buku: Konspirasi Politik RMS dan Kristen
Menghancurkan Ummat Islam di Ambon-Maluku, juga tidak ketinggalan menyumbang
sebuah tulisan mengenai sikap pemerintahan Gus Dur dalam menangani musibah
kemanusiaan di Maluku, sehingga buku ini semakin kaya akan informasi. Sumber tulisan yang berasal dari “Tim
Peduli Tapol Amnesti Inter-nasional” banyak mengandalkan berbagai data dan fakta yang
tidak per-nah diungkap media massa, karena merupakan hasil “liputan”
lang-sung dari arena persidangan. Sedangkan Al Chaidar mendasarkan
tuli-sannya dari hasil investigasi lapangan dan kepustakaan yang juga
jarang (atau bahkan belum pernah) dipublikasikan oleh media massa. Salah satu
fakta yang diungkapkan oleh buku ini antara lain kasus Komando Jihad, yang
heboh pada awal tahun 1980-an, dan pada dasarnya merupakan gerakan yang
direkayasa oleh orang-orang yang mengingin-kan hancurnya gerakan Islam,
dan merupakan rekayasa badan intelijen militer ketika itu. Begitu juga
dengan kasus Pembajakan WOYLA. Fakta yang antara lain diungkapkan dari
kasus tersebut adalah tentang adanya kejanggalan pada proses pengadilan:
“Pengadilan yang menangani kasus Imran Cs. menolak untuk melakukan
penyelidikan tentang terjadinya pembunuhan terhadap 6 orang pembajak pesawat
”. Fakta lain yang juga berusaha digambarkan buku ini adalah adanya berbagai
bentuk kecurangan dan intimidasi, baik terhadap tersangka, pembela,
bahkan hakim, serta rekayasa hukum. Gambaran itu tidak saja terdapat
pada persidangan kasus Tanjung Priok, juga pada kasus-kasus lainnya
seperti pembajakan WOYLA (1982), Peledakan BCA (Oktober 1984),
Pengeboman Candi Borobudur di Magelang,
Peledakan Bis Pemudi Ekspres di Malang (1984), kasus Pesantren Kilat di
Malang (1985), serta kasus Gerakan Usrah di Jawa Tengah dan DIY (1986). Pada
persidangan kasus peledakan BCA misalnya, pembaca dipertemukan dengan tokoh
nasional, yaitu Ir. HM. Sanusi, yang didakwa mendanai dan memerintahkan melakukan
peledakan di berbagai tempat. Ir. H.M.
Sanusi adalah tokoh organisasi Muhammadiyah, tokoh Partai Masyumi,
mantan anggota DPR periode 1971-1977 bahkan pernah men-jabat menteri
perindustrian pada masa Orde Lama.
Kasus pemboman BCA (Oktober
1984) merupakan reaksi atas tragedi berdarah di Tanjung Priok (12
September 1984), karena pemerintah (dan ABRI) tidak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan terhadap berbagai pernyataan yang menggelayuti
masyrakat ketika itu (bahkan hingga kini). Mengapa penguasa (pemerintah) dan militer
begitu membenci kala-ngan Islam, sehingga merasa perlu merekayasa
berbagai kejadian yang menyudutkan ummat Islam? Alasan pertama, karena
mereka para elit politik sesungguhnya bukanlah kalangan yang layak
menerima amanah. Dan kedua, kemungkinan besar petinggi kita (pemerintah dan militer)
kala itu sangat terpengaruh oleh sejenis tesis yang pernah dipopulerkan oleh
Samuel P. Huntington, yang menyatakan Islam merupakan ancaman berikutnya
setelah komunisme tumbang. Bahkan
lembaga studi CSIS (Center for
Strategic and International Studies) yang dibidani dan dibina
mendiang Ali Murtopo, pada awal-awal berdirinya pernah membuat
kesimpulan bahwa, Islam adalah faktor penghambat pembangunan bangsa. Kesimpulan
itu dituangkan di da-lam buku rencana kerja CSIS yang berjudul Master
Plan Pembangunan Bangsa. Bencana
yang dialami kaum muslimin di Indonesia belum juga sirna, dan masih terus
berlanjut hingga kini, ketika duet Gus Dur dan Mega-wati memimpin negara ini.
Lihatlah kasus Muslim Cleansing di Ambon-Maluku yang tak kunjung
usai. Lihatlah juga pembantaian ummat Islam di Aceh yang masih berlangsung.
Padahal, Presidennya berasal dari kalangan ulama NU (Nahdlatul Ulama),
Ketua MPR-nya berasal dari kalangan ulama Muhammadiyah, dan Ketua
DPR-nya mantan petinggi HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam).
Tinjauan dari ulasan Al
Chaidar seputar sikap pemerintahan Gus Dur terhadap berbagai bencana
yang menimpa ummat Islam (khususnya kasus genosida di AmbonMaluku), seperti
menunjukkan dengan jelas, bahwa mereka sebenarnya bukanlah
kalangan yang layak menerima amanah dari ummat Islam.
Dengarlah apa komentar Gus Dur mensikapi pertikaian antar ummat beragama
di Maluku. Gejolak Maluku, katanya “Akibat Ummat
Islam Dianakemaskan”. Ketika membuka seminar internasional
“Mencari Bentuk Ideal Negara Indonesia Masa Depan” di Istana Negara,
Selasa 28 Maret 2000, Gus Dur mengatakan:”Masa sepuluh tahun terakhir
pemerintah lalu, telah memberikan perlakuan istimewa sebagai anak emas (golden
boy) bagi masyarakat Islam di Maluku”. Kondisi itu, sambungnya,
mengakibatkan keseimbangan antara Kristen dan Islam telah terganggu. Menurut
Abdurrahman, jika dulu Belanda mengambil orang-orang Kristen untuk posisi
militer dan pemerintahan, dalam era Soeharto pemerintah merekrut Muslim sangat
banyak dibanding Kristen”. (Republika, 29 Maret 2000). Mengapa bencana itu
masih juga menimpa kaum muslimin? Karena hukum yang diterapkan adalah hukum
jahiliyah, sistem yang jahiliyah, hukum
dan undang-undang yang sudah terbukti lebih dari setengah abad, tidak mampu
menyelamatkan bangsa ini dari bencana
ekonomi, politik dan HAM. Oleh karena itu, yang sebenarnya dibutuhkan adalah
institusi berupa negara yang memberikan keselamatan (Darussalam), pemimpin yang
amanah, dan aturan hukum serta sistem yang alamiah yang datangnya dari Sang Pencipta
Alam. Semoga artikel ini diterbitkan dalam rangka mengingatkan kita tentang
berbagai bencana yang datang silih-berganti menimpa ummat Islam di Indonesia.
Dari setiap bencana itu sesungguhnya terdapat serangkaian fakta yang berbicara
kepada kita, tidak hanya tentang ‘software’dan ‘hardware’ yang
tidak lagi ‘compatible’ dan sudah harus dibuang, juga tentang para ‘operator’
yang tidak laik jalan, baik karena mutu intelektualnya yang rendah, maupun
moralnya yang telah rusak. Ini semua
adalah peringatan bagi mereka yang lalai dan membeo, serta ujian bagi para penganut
agama, tetapi dalam hidupnya memilih menjadi
Pak Turut atau pun syetan bisu.
Referensi: Iddatu Askhas Amilu Li Hisabi Tapol ( Team Peduli Tapol, 1985 ). BENCANA KAUM MUSLIMIN DI
INDONESIA,1980-2000. Zahratif (Az-Zahro lil I’lami al-Arabi) 1989 P.O 102 Madinat Nasr Cairo Mesir
EmoticonEmoticon