Di Indonesia, ada dua organisasi Islam
yang sama sekali berbeda coraknya dengan
Syarikat
Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama.
1. MUHAMMADIYAH. Organisasi Muhammadiyah didirikan tahun 1912. Salah seorang
pendirinya adalah santri keraton - tokoh agama keraton piodal di Jawa, yang melakukan ritual keagamaan di keraton-keraton tradisional di Yogyakarta dan Solo. Setelah Islam datang, para piodal Jawa ini tetap memelihara
tokoh semacam itu untuk melaksanakan ritual agama di keraton mereka.
Tokoh-tokoh pendiri Muhammadiyah, seluruhnya bergelar
haji, maksudnya mereka yang telah
pergi ke Mekah melaksanakan rukun
Islam ke lima. Tokoh-tokoh ini berasal dari keluarga
kaya diantara
keluarga-keluarga Jawa.Yang demikian itu tampak menonjol
hatta
dalam
rekruitmen anggota organisasi pun banyak ditujukan pada kalangan
pedagang kaya di Yogya dan daerah sekitarnya.
Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah orang pertama yang mendirikan
organisasi Muhammadiyah. Sebelumnya, Ahmad Dahlan bukanlah
seorang yang memiliki keahlian dalam bidang pengajaran dan manaje-men organisasi, namun kedua hal ini (pendidikan
dan keorganisasian) pada gilirannya
malah menjadi ciri organisasi tersebut.
Prinsip dasar organisasi ini jelas, yakni menjalankan perintah
Al-Qur’an, melakukan amar
ma’ruf nahi munkar. Maksudnya, mengajak orang berbuat baik dan menjauhkan dari perbuatan dosa. Tujuan uta-manya
adalah
untuk
meredam dua faham yang kontroversial yang terjadi diantara dua kubu (santri dan abangan)
yang sama-sama tumbuh di dalam masyarakat Jawa. Mereka beranggapan bahwa pengajaran Islam secara tradisional, terutama di tingkat pedesaan sudah sangat kolot sekali, sehingga menyebabkan ketidakmampuan menghadapi tantangan- tantangan modern. Tetapi juga mereka tidak senang melihat kultur Jawa terlalu banyak mencelup pendidikan dan prilaku-prilaku
ke-Islaman yang mengajak
orang untuk kembali kepada Qur’an secara murni.
Oleh karena mereka adalah tokoh-tokoh Jawa yang utama, maka mereka beranggapan bahwa
pemerintah Belanda dan sistem pendidikan yang pernah
berjalan, yang oleh masyarakat dianggap
hanya mengabdi kepada kepentingan pemerintah penjajah, merupakan
penghinaan kepa-da
mereka. Hal semacam itu merintangi
pertumbuhan golongan peda-gang dan menghalangi
hak mereka untuk
memperoleh
kemajuan. Untuk
memecahkan problema ini perlu diadakan pendidikan yang lebih baik, tetapi harus berjiwa Islam.
Sekalipun mereka mengakui
bahwa sistem pendidikan
sekuler Barat dapat memperluas
pengetahuan dan kemampuan ilmiah yang penting, namun rasa kemanusiaan
dan perasaannya
tidak dapat tumbuh seperti
diinginkan. Maka menurut pendapat
mereka hal semacam ini tidak akan bisa diatasi kecuali bila dilakukan di bawah naungan sistem
yang berjiwakan Islam.
2. NAHDHATUL ULAMA.
Organisasi NU didirikan th 1926, pendirinya adalah KH. Hasyim Asy’ari. Istilah Kiai dipergunakan sebagai sebutan bagi seorang guru muslim. Organisasi
ini didirikan
sebagai reaksi terhadap
pertumbuhan pesat organisasi Muhammadiyah. Dapat kami
katakan, bahwa NU secara prinsip berhadapan
dengan pola-pola modern yang dijalankan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah dengan cepat tersebar
diberbagai tempat
sehingga dapat dianggap sebagai
suatu ancaman bagi sekolah-sekolah tradisional maupun sekolah
Islam pedesaan serta pusat-pusat pendidikan yang menjadi basis pesantren
yang dikelola ulama- ulama tradisional.
Kedua organisasi
ini, pola kegiatan pendidikan dan kemasyarakatan-
nya
selalu bersaing. Untuk menjadi kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan
sosial dan keagamaan di Jawa, NU punya pengikut besar dan mengakar di desa-desa, baik
di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Pesantren yang menjadi
basis NU membentuk perkampungan-perkam-pungan
kecil di bawah pengawasan Kiai
dan para santri, yang memiliki
hubungan emosional yang kuat dengan keta’atan serta komitmen kepada pesantrennya. Mereka
ini mudah Anda kenal melalui pakaian khas yang mereka
kenakan.
Akan halnya Muhammadiyah, pengikutnya sebagian besar adalah penduduk kota dari
kalangan pengusaha menengah,
pegawai sipil dan tenaga profesional. Anak-anak mereka mengenakan pakaian ala barat
dan
memanggil guru-guru
mereka dengan panggilan ustadz, sebutan bahasa Arab untuk
guru.
Pengikut
kedua organisasi ini semakin bertam-bah besar. Ulama-ulama NU mengurus banyak pesantren, sedangkan pengikut Muhammadiyah mendirikan
jaringan sekolah mulai dari tingkat TK, Akademi hingga Perguruan
Tinggi. Juga mendirikan tempat-tempat penampungan anak yatim dan jompo serta Rumah Sakit. NU lebih banyak
berkiprah dalam masalah-masalah tradisional sedangkan pengi-kut Muhammadiyah lebih banyak melakukan gerakan pembaruan. Per-bedaan antara kedua organisasi
ini sudah nampak sejak awal
berdirinya. Dan perkembangan keadaan
belakangan ini menjadikan perbedaan-perbedaan diantara
kedua organisasi, menyusup
pula di kalangan seba-gian perwira militer. Pada awal tahun-tahun berdirinya Muhammadiyah, organisasi ini sangat terpengaruh oleh gagasan reformasi sosial secara total. Barangkali
hal ini akibat dari pengaruh misionaris
yang membuat menonjol badan-
badan pendidikan Kristen. Para anggota Muhamma-diyah berpendapat, bahwa sistem pendidikan
misionaris dapat menjadi
perantara untuk membangun kemampuan khusus kalangan terpelajar, guru, dan kaum pemikir. Jumlah anggota
Muhammadiyah sampai
seka-rang ( tahun 1989 ) kurang
lebih berjumlah dua puluh juta orang
dengan membawahi tidak kurang dari 2000 sekolah,
16 Universitas, 21 Akademi,
9 rumah sakit umum ( PKU ), ratusan tempat penampungan
anak yatim, puluhan ribu masjid. Adapun ‘Aisiyah, adalah bagian perempuan Muha-mmadiyah, terdiri
dari para putri dan ibu-ibu
yang tergabung di dalam organisasi pendidikannya.
Sistem pendidikan di dalam
organisasi
Muhammadiyah telah
men-capai
tingkatan
yang
kokoh dan mapan sehingga dapat menyaingi
sistem pendidikan sekolah negeri. Dalam kenyataannya tidak terdapat
perbeda-an apapun mengenai
sistem pengajaran dan pendidikan antara kedua lembaga
tersebut
(Muhammadiyah dan
Pemerintah ). Tetapi Muhamma-diyah memiliki
sistem birokrasi
sendiri. Hal ini dimaksudkan sebagai
upaya memelihara sekolah- sekolah, Universitas dan rumah sakit-rumah sakit, termasuk juga memelihara ide pembaharuan
yang menjadi ciri khasnya sejak semula. Sebab pada tahun-tahun terakhir ini muncul anggapan dari para cendekiawan muslim, bahwa sistem yang ditempuh oleh peme-rintah
dalam pengajaran yang mereka
terapkan di sekolah,
ternyata merugikan upaya memelihara kepribadian Islam.
Dalam bidang politik
Muhammadiyah tetap menjaga prinsip
me-ngambil jarak dan tidak ikut
di dalam aktivitas politik, kecuali yang terjadi
pada tahun-tahun 1950-an,
ketika menjadi anggota
dari partai politik Masyumi. Muhammadiyah
telah menetapkan langkah-langkah tertentu guna menjauhkan usaha-usaha dibidang pendidikan dan sosialnya dari segala macam kegiatan
politik. Tujuannya adalah, sebagai upaya men-jauhkan
diri dari sikap konfrontasi dengan kekuasaan
negara. Organisasi
ini
selamanya
menikmati hubungan yang harmonis dengan pemerintah,
walaupun terjadi pergantian pemerintahan,
sejak zaman Belanda
kemu-dian
Jepang,
lalu
Soekarno dan akhirnya pemerintahan militer dewasa ini yaitu rezim Soeharto. Dengan bersikap
semacam ini, Muhammadiyah memperoleh banyak keuntungan, seperti
subsidi bagi sekolah-
sekolah Muhammadiyah.
Adapun sekolah-sekolah NU yang
berkonsentrasi pada bidang
pendi-dikan agama, yang dewasa
ini sudah jarang dilakukan orang, sebagian besar sudah menjadi sekolah pemerintah atau
hampir menjadi bagian dari sistem pengajaran di sekolah-sekolah
negeri. Umumnya pesantren- pesantren ini berbasis
di lingkungan masyarakat agraris, kantor-kantor
modern dan organisasi- organisasi sosial. Para Kiai pada umumnya merasa bangga dapat melakukan usaha pembinaan
manusia seutuhnya,
berbeda dari sekolah-sekolah negeri yang
hanya
bertujuan mencetak
pegawai negeri.
Sementara kelompok abangan berpandangan bahwa pesantren tidak lebih dari
suatu tatanan yang sudah ketinggalan zaman, dan tidak sesuai
dengan realitas kehidupan modern.
Lain lagi pandangan dari para Kiai, mereka menilai guru-guru di sekolah Muhammadiyah sebagai orang-orang yang berwawasan sempit, sebab
mereka tidak memiliki kepedulian sedikitpun terhadap
kepentingan kehidupan di pedesaan. Masalah industri
lokal atau pengaruh konsume-risme barat di pedesaan-pedesaan yang sederhana tidaklah
dapat diselesaikan hanya dengan mengajak
kembali kepada Qur’an dan Hadits. Demikian
pula dengan para guru-gurunya yang terikat dengan modernisme. Oleh karena itu, upaya mengajak
melakukan pembenahan berfikir yang seringkali didengungkan, tidak lebih dari sekedar propaganda.
Seperti
telah kami katakan bahwa Muhammadiyah tidak hendak menyimpang dari metode pendidikan sosialnya, dan tidak pula terlibat
dalam aktivitas politik,
kecuali hanya beberapa tahun. Berbeda dengan NU yang memproklamirkan diri sebagai partai politik pada tahun 1953,
dan berkecimpung dalam kegiatan
kepartaian hingga tahun 1984. NU melakukan
peran utama bersama pemerintah
yang berkuasa, ikut ber-peran
juga dalam pemerintahan
Soekarno di bawah demokrasi terpim-pinnya,
sebagai unsur agama dalam Nasakom yang mencakup partai-partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Pada tahun-tahun terakhir ini, NU mengalami
sedikit kesulitan dengan pemerintahan militer Soeharto. Tujuan pokok dari NU adalah tetap survive, termasuk juga
keberlang-sungan pesantren-pesantrennya,
dan seluruh anggota NU memperoleh
perlindungan keamanan. Pada tahun 1974, untuk alasan-alasan yang akan kami sebutkan
kemudian, menjadi
jelaslah bahwa hidup matinya NU hanya bisa dipertahankan dengan menjadikan
dirinya semata- mata sebagai lembaga pendidikan dan sosial, serta secara total menarik diri dari aktivitas partai politik (kembali ke khittah 1926.
pent.)
Sekalipun kedua organisasi ini
menggunakan cara-cara berbeda sejak
berdirinya, namun
perbedaan tersebut pada tahun-tahun terakhir
ini kian menipis. Kini NU tampil sebagai kelompok konservatif, sedangkan Muhammadiyah tampil sebagai reformis di Indonesia. Kedua organisasi
ini sekarang merupakan organisasi Islam yang berpengaruh besar
di- Indonesia.
EmoticonEmoticon