MILITER Indonesia, sejak awal mula secara diam-diam menyimpan rasa kurang senang
terhadap organisasi-organisasi Islam. Keti-dak-senangan itu muncul semenjak tahun-tahun pertama berdirinya Republik
Indonesia, dan mencapai puncaknya hingga ke tingkat permu- suhan setelah pemerintahan militer
resmi
memegang tampuk kekuasaan tahun 1965. Sebagaimana terlihat dalam perkembangan yang mencapai puncaknya pada tahun 80-an, bahwa kemiliteran itu dibentuk untuk menopang
kekuatan negara, dan selalu siap untuk men-jalankan perannya sebagai kekuatan negara mengha-dapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui,
yaitu Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Kondisi semacam
ini terus berlangsung, sehingga
jurang pemisah di antara militer dan organisasi-organisasi (gerakan)
politik Islam semakin dalam.
Sejak awal dibentuknya kekuatan militer
Indonesia, hanya penduduk pulau Jawa sajalah yang berperan mengendalikan
dan
mengontrol tentara, khususnya dalam pembinaan karakter
maupun kultur (tsaqafah) nya. Suku Jawa selamanya menduduki posisi-posisi
penting dan strategis sejak lahirnya gerakan
kebangsaan di Indonesia, sehingga
mereka berhasil menguasai setiap
bagi-an dari kehidupan bangsa, dan merambah
ke suku-suku lain di luar Jawa yang pada umumnya lebih kuat berpe-gang kepada ajaran Islam dibandingkan
dengan mereka yang ada di pulau Jawa. Perkembangan politik selanjut-nya menunjukkan, bahwa apa yang terjadi diantara kelompok
militer dan organisasi-organisasi Islam telah merambah masuk hingga ke persoalan-persoalan
asasi di dalam tubuh masyarakat Jawa yang memiliki dua pola kultur berbeda: Yaitu, pertama
golongan santri, mereka adalah muslim yang taat pada agama. Dan kedua,
golongan abangan,
adalah mereka yang secara formal mengaku muslim tetapi dalam praktiknya tetap setia berpegang
teguh kepada filsafat dan kebudayaan Jawa sebelum Islam.
Kira-kira satu bulan sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 telah
terjadi perdebatan sengit antara dua kubu, kelompok santri
dan abangan yang tergabung di
dalam “Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai”,
yaitu sebuah badan yang dibentuk
oleh tentara pendudukan
Jepang, guna mencari dasar bagi kemerdekaan Indonesia
serta mendisku-sikan UUD Republik di masa datang. Pada akhirnya dicapailah suatu kesepakatan yang memuat kerangka undang-undang negara Indonesia sekaligus
lima dasar Pancasila yang salah satunya berisi kepercayaan
kepada Allah SWT.
Para wakil-wakil muslim di dalam badan ini berhasil mengokohkan
prinsip tadi yang
memungkinkan untuk memberikan warna
ke-Islaman dan menonjolkan kepribadian Islam dengan
menambahkan kalimat: “Dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Kese-
pakatan ini kemudian
diterima sebagai preambule (pembukaan)
undang-undang
dasar yang
dikenal dengan Piagam Jakarta. Akan tetapi ketika UUD ini diumumkan tanggal
18 Agustus
1945, sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, kalimat tersebut dihapuskan
melalui tangan pemimpin sekuler
Soekarno, yang
kemudian diangkat menjadi presiden
RI yang pertama. Dengan
kejadian ini, maka kemenangan yang semula berada di tangan kaum muslimin berubah
menjadi serangan dan penistaan.
Dihapusnya tujuh kalimat,
yang terdapat di dalam Piagam Jakata (The Jakarta
Charter)
pada
akhirnya
menimbulkan
permusuhan
berkelanjutan selama 20 tahun pertama berdirinya Republik Indonesia.
EmoticonEmoticon