NU DI BAWAH DEMOKRASI TERPIMPIN DAN PEMERINTAHAN BARU (NASAKOM)



Berbeda dengan pemimpin Masyumi yang berani bersikap oposan, pemimpin NU yang aktif di dalam politik nasional semasa demokrasi terpimpin berharap dapat bekerjasama dengan Soekarno dan militer. Idham Khalid, pemimpin NU dan tokoh yang paling menonjol di dalam partai ini memainkan peranan kunci di dalam bidang politik selama lebih dari 30 tahun, mulai sejak masa rezim Soekano dan rezim diktator Soeharto. Pada tahun 1983, NU mengalami penyusutan peran politik, dan Idham Khalid ikut mengalami surut.
NU   banyak   sekali   mendapatkan   keuntungan   dari   kerjasamanya   dengan   pemerintah demokrasi terpimpin. Ia  menguasai posisi Depar-temen Agama hingga keakar-akarnya. Juga mendapatkan lisensi  istimewa  untuk  usaha  pemberangkatan jama’ah  haji,  baik  melalui  laut maupun udara yang merupakan usaha sangat menguntungkan. Tetapi para Kiai menjauhkan diri dari trik-trik politik walaupun Kiai-lah yang menjadi basis NU; mereka membatasi diri sebagai pemimpin agama untuk melindungi kegiatan keagamaan setempat dari campur tangan kekuatan- kekuatan  politik  dan  militer  pusat.  Sekalipun demikian, NU  merupakan bagian  dari  koalisi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) bersama-sama dengan PKI di Jakarta. Guna menyelamatkan kepentingan-kepentingan sosialnya, membuat NU selalu berkonfrontasi dengan golongan kiri di  daerah-daerah pedesaan, karena tokoh-tokoh NU yang berada di  desa-desa merupakan  tuan-tuan  tanah  yang  sangat  menentang  landreform  yang  dipelopori  Soekarno. Barisan tani Indonesia (BTI) yang menjadi onderbow PKI menjadi tulang punggung dari gerakan pelaksanaan land reform yang kemudian menyebabkan timbulnya kon-frontasi antara NU dan golongan kiri. Organisasi Anshar tampil ke depan dengan menggunakan kekerasan menghadapi BTI dan gembongnya. Hal ini terjadi akibat dari undang-undang landreform. Peristiwa ini terjadi jauh sebelum Soeharto memegang kekuasaan. Kemudian muncullah peristiwa Oktober 1965. Soeharto menyalahkan PKI karena usahanya untuk melakukan revolusi, dan selanjutnya melakukan pembersihan serta  penghancuran terhadap golongan kiri.  Anggota-angota Anshar berada pada barisan terdepan bersama dengan Angkatan Bersenjata membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai PKI dan keluarga-keluarga mereka. Sedangkan peranan NU di dalam aksi pembantaian ini yang diperkirakan menelan 100.000 korban mengambil posisi sebagai pengkritik terhadap  kejadian-kejadian  yang  berlangsung  disaat  itu.  Hal  ini  terjadi  setelah  Soeharto memegang tampuk kekuasaan di tahun 1965. NU memperkira-kan akan memperoleh banyak keuntungan dari dukungan yang diberikan terhadap pemerintahan militer, tetapi ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan. Setelah militer berkuasa penuh, orang-orang militer banyak ditempatkan di dalam posisi-posisi yang tadinya diduduki oleh NU di dalam berbagai jabatan yang secara tradisional dipegang mereka. Namun NU tetap diperkenankan meneruskan kegiatannya seperti halnya partai-partai lain sesudah komunis dibubarkan dan secara berangsur-angsur NU pun mulai kehilangan eksistensi politiknya di pentas nasional.
Sekalipun demikian, pada pemilu tahun 1971 NU tetap memperoleh dukungan yang pernah diperolehnya pada pemilu 1955. Peranan partai-partai di dalam DPR, pemerintahan daerah dan pusat tenggelam di bawah kaum militer dan partainya yaitu Golkar atau pejabat-pejabat pemerin- tahan yang berbendera Golkar.


EmoticonEmoticon