AMNESTI INTERNASIONAL



SEJAK  Januari  1985,  pengadilan-pengadilan  di  Indonesia  menggelar  persidangan  puluhan perkara politik Islam. Selama 30 bulan tanpa henti perkara ini digelar guna mengungkapkan kasus dessident muslim terhadap rezim Soeharto, dengan menuduhnya seba-gai teroris dan fundamentalis. Bahkan selama berta-hun-tahun masyarakat dicekoki perasaan takut terha-dap siapa saja  yang dipandang sebagai musuh peme-rintah atau gerakan yang mengarah kepada pemben-tukan “Daulah Islamiyah” di Indonesia.
Persidangan-persidangan yang digelar secara revo-lusioner menjadi bumerang, karena membuat kaum muslimin berubah sikap pada pemerintah. Rezim militer Soeharto termasuk rezim yang  paling lama  berkuasa di  dunia. Di  bawah  rezim  diktator  ini,  Indonesia dikuasai oleh pemerintahan dzalim yang sudah mendarah daging. Oposisi dalam bentuk apapun tidak diperkenankan, dan terus menerus melakukan intimi-dasi dan tekanan yang sangat hebat terhadap kemer-dekaan individu, penindasaan terhadap kebebasan, hak berbicara serta melakukan diskusi terbuka.
Adalah mengherankan, dalam kondisi tertekan justru muncul aktivis-aktivis keagamaan di semua lapisan masyarakat Indonesia, mereka melakukan diskusi-diskusi politik dan kebudayaan. Aktivitas ini diprakarsai oleh generasi muda muslim terpelajar. Sebagian dari mereka ada yang study ke luar negeri: Timur Tengah dan Eropa. Banyak di antara mereka yang terpengaruh oleh perkembangan-perkemba-ngan baru  yang  terjadi  di    dunia  Islam. Semangat kebangkitan ini dimotivasi oleh para muballigh serta politikus-politikus muslim senior.
Organisasi-orgnisasi Islam resmi tidak ingin berkonfrontasi dengan gerakan yang mendukung demokrasi, juga dengan orang-orang yang mendesak kaum muslimin untuk menciptakan gerakan kebudayaan dan politik alternatif. Di tengah merajalelanya despotisme, banyak masjid berubah menjadi pusat-pusat halaqah, penerbitan buletin dan seminar; di samping sebagai tempat shalat berjamaah serta aktivitas-aktivitas ke-Islaman lainnya. Selain itu bermunculan pula organisasi- organisasi baru di lingkungan perumahan-perumahan.
Dalam kondisi represif yang sengaja diciptakan pemerintah, adalah tidak mungkin melakukan
kegiatan-kegiatan dengan cara lain untuk menggalakkan demokrasi dan keadilan.
Mulailah negara mengambil langkah-langkah keras, dengan menge-luarkan undang-undang yang mewajibkan asas tunggal Pancasila. De-wasa ini gerakan Islam dianggap sebagai bahaya laten atau ancaman potensial terhadap rezim militer, sehingga yang menjadi sasaran tindakan represif pemerintah adalah aktivis-aktivis muslim. Rezim Soeharto ber-sandar kepada keputusan hukum tahun 1965, saat terjadinya gelombang pembantaian massal. Dalam badai kemarahan ini, ratusan ribu orang yang dicurigai sebagai komunis dibunuh. Dan puluhan ribu lainnya dijeb- loskan ke dalam penjara dengan hukuman di atas 10 tahun, tanpa melalui proses pengadilan.
Setelah berlalu sepuluh tahun, pada pertengahan dasawarsa 1970-an muncullah perlawanan dari mahasiswa yang menuntut diadakannya perubahan politik dan iklim yang lebih demokratis. Para mahasiswa menghadapi rezim yang menguasai militer. Pada saat yang sama Indonesia melancarkan perang terhadap kaum pemberontak di Irian Barat, daerah yang sejak tahun 1963 telah  menjadi  bagian  dari  Indonesia.  Disamping  itu,  Indonesia  juga  menghadapi  perang perlawanan  rakyat  Timor  Timur  yang  baru  berintegrasi  dengan  Indonesia  tahun  1975. Menghadapi pemberontakan bersenjata di kedua wilayah tersebut, militer Indonesia tidak mau bersikap lunak apalagi berkasih sayang dengan mereka yang menentang pemerintah. Peperangan ini pada akhirnya meninggalkan akibat yang parah berupa kematian, penyiksaan, pena-hanan dan pengawasan ketat. Dan orang-orang yang menentang peme-rintah orde baru di dalam maupun diluar negeri bertambah banyak.
Salah satu faktor yang menyebabkan rezim Soeharto mampu ber-tahan dalam waktu demikian lama, karena kehebatannya melibas lawan politik satu demi satu. Setiap kelompok masyarakat dipaksa untuk meng-hancurkan gerakan oposisi yang ada di dalam tubuh kelompoknya. Dengan lenyapnya gerakan oposisi yang terorganisasi dengan baik di dalam negeri, maka kekuatan yang menjadi sandaran para oposan tiada lain adalah dukungan serta bantuan dari luar negeri.
Tapol (Tahanan Politik) yang terdapat diberbagai penjara diseluruh wilayah Indonesia, yang terdiri dari politikus-politikus PKI dan kaum kiri, sebagian besar telah dibebaskan pada akhir dasawarsa tujuh puluhan. Dan masih tersisa sekitar 80 orang tapol, sedangkan 20 diantaranya dijatuhi hukuman mati. Sementara puluhan ribu orang yang dibebaskan itu,  mengalami kematian perdata, dengan kehilangan hak-hak sipil serta politiknya.
Dewasa ini penghuni penjara-penjara di Indonesia telah berubah, diganti  oleh generasi baru yang terdiri dari tahanan politik muslim, mereka adalah politikus yang   menyuarakan aspirasi Islam. Mayoritas dari mereka ini, dahulunya mendukung militer menumpas PKI pada tahun 1965.
Juru bicara rezim Soeharto tidak jemu-jemunya mengingatkan orang, bahwa terdapat dua kelompok ekstrim yang senantiasa mengancam stabilitas nasional. Pertama, kelompok ekstrim kiri, yaitu sisa-sisa PKI setelah pemberontakan tahun ‘65 beserta  organisasi pendukungnya. Dan organi-sasi ini seluruhnya terlarang sejak rezim militer memegang kekuasaan. Kedua, kelompok ekstrim kanan, adalah golongan Islam fundamentalis.

Rezim Soeharto menerapkan strategi khusus untuk menghancur-kan kedua kelompok ekstrim tersebut secara serentak. Ketika mengek-sekusi mati empat orang napol  PKI pada tahun 1985, pada tahun yang sama, seorang napol muslim juga dieksekusi mati. Pada tahun 1986, ketika mengeksekusi mati 9 orang napol PKI, sebelumnya ada satu orang napol muslim yang dieksekusi mati lebih dahulu.
Undang-undang   subversi   dan   kekuatan   inkonstitusional   yang   diper-gunakan   dalam persidangan kasus-kasus tahanan PKI pada tahun 1965, sepuluh tahun kemudian, dengan cara dan undang-undang yang sama, itulah yang dipergunakan dewasa ini menghadapi tapol/napol muslim.
Selain Amnesti internasional, sangat sedikit perhatian dicurahkan oleh pihak luar Indonesia untuk memahami dan melakukan analisis ter-hadap proses persidangan yang telah selesai pelaksanaannya pada awal tahun 1985 ini.
Buku ini mencoba mengungkap secara gamblang apa yang selama ini lepas dari perhatian banyak orang. Keputusan-keputusan pengadilan yang berlangsung hingga akhir 1987, seluruhnya dibeberkan dalam buku ini. Jumlah tapol muslim tercatat sebanyak 157 orang (lihat lampiran IV), sedangkan orang-orang Islam yang dipenjarakan tanpa proses peradilan jumlahnya jauh lebih besar lagi. Persidangan terhadap kasus mereka ini terus berlanjut hingga pemilu April 1987, dan tahun-tahun berikutnya.
Tidaklah mustahil, keadaan semacam ini akan terus berlanjut beberapa tahun lagi. Dan akan terus  berlangsung sampai  pergantian pemerintah  bulan  Maret  1988  ketika  Soeharto  terpilih kembali menjadi presiden untuk kelima kalinya, suatu jabatan yang telah dipegangnya sejak tahun
1968 hingga sekarang tanpa ada persaingan sedikitpun.
Disini kita dapat saksikan, bahwa persidangan-persidangan subversi akan terus digunakan demi tujuan-tujuan politis, dengan memberikan kesan mendalam kepada masyarakat Indonesia, sesungguhnya negara ini selalu menghadapi ancaman stabilitas nasional. Maka dalam peristiwa- peristiwa politik penting, seperti pemilu dan perayaan hari-hari besar nasional, dimunculkan peristiwa-peristiwa yang sifatnya mencekam masyarakat. Dengan alasan yang demikian itulah, orang-orang Islam dijadikan tumbal untuk waktu yang lama. Akan tetapi buku ini tentu tidak mungkin memuat selengkapnya data-data yang berhubungan dengan kasus yang dibicarakan.
Bab pertama buku ini secara ringkas mengetengahkan sejarah perta-rungan antara gerakan Islam dan kelompok militer di Indonesia. Dipa-parkan secara sepintas berbagai macam organisasi Islam, baik politik maupun sosial yang telah berdiri diwaktu lalu, dan dijelaskan pula mengapa para aktivis muslim mencari wadah-wadah baru sebagai alternatif.
Bab dua menceritakan tragedi Tanjung Priok dan tokoh-tokoh menon-jol yang sengaja dikorbankan.
Bab tiga  berusaha untuk   melacak sejauh mana keabsahan keterangan resmi pemerintah mengenai korban kasus Tanjung Priok. Dan pada bab 4, diketengahkan berbagai kisah tragis kasus tersebut, penerapan undang-undang secara semena-mena, perlakuan buruk terhadap terdakwa dalam persidangan disaat berlangsungnya peradilan, serta siasat-siasat licik yang dilakukan pemerintah dalam mengendalikan jalannya persidangan demi tujuan-tujuan politis.
Tiga bab berikutnya memuat pembicaraan tentang kasus peradilan terhadap beberapa muballigh dan mereka yang dituduh melakukan peledakan bom atau dituduh melakukan makar.
Pada bab terakhir dibicarakan tentang pengadilan terhadap beberapa orang penduduk desa (aktivis muslim di desa). Kegiatan para aktivis di desa merupakan fenomena baru di Indonesia. Gerakan ini disebut gerakan Usrah. Sayang sekali, hanya sedikit yang diketahui tentang gerakan ini, karena hanya diketahui dari keterangan-keterangan yang terungkap di pengadilan.
Media massa Indonesia menjadi sumber utama untuk melakukan analisis terhadap jalannya persidangan, walaupun hal semacam ini bu-kanlah suatu metode yang baik. Namun kami tidak
mempunyai alternatif lain.Sebab tidak ada keterangan independen yang ditulis oleh orang-orang
yang bersimpati terhadap para terdakwa, seperti yang dahulu pernah terjadi dalam kasus pengadilan mahasiswa pada pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika keterangan lisan secara apa adanya dapat disiarkan.
Selebaran-selebaran ini tersiar secara luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Akan tetapi dalam kasus Usrah ini pengamat independen tidak diperkenankan menghadiri persidangan kasus mereka, walaupun sebagai wakil dari lembaga Amnesti Internasional ataupun himpunan pengacara internasional.
Orang maklum, bahwa  media Indonesia yang  memberitakan jalannya persidangan kasus politik,  menghadapi  kontrol  ketat  dari  pemerintah  sekalipun  persidangan tersebut  dilakukan secara terbuka dan untuk umum.
Pengadilan memang memberikan keterangan untuk mengkonter pen-dapat-pendapat yang berbeda  dengan  pemerintah mengenai masalah-masalah politik  dan  sosial,  tetapi  keterangan tersebut  bersifat off the record. Pada kenyataanya banyak persidangan kasus politik dihadiri oleh sejum-lah simpatisan yang menjadi pendukung terdakwa, tetapi media massa tidak berani memberitakan hal tersebut karena khawatir SIUP atau izin  terbitnya dicabut. Namun dalam beberapa kasus persidangan yang me-ngundang suasana emosional, beberapa media massa ada juga yang agak berani menyiarkannya.
Pembungkaman  terhadap  mass  media,  intensitasnya  bervariasi  dari  waktu  ke  waktu. Terkadang ada juga persidangan yang dapat diikuti prosesnya lebih banyak dibanding lainnya. Tapi perlakuan paling tidak mengenakkan yang diterima media massa, ketika mereka dilarang

menyi-arkan berita-berita di luar fakta yang diberikan pemerintah. Padahal mass media ingin menelusuri seberapa besar kesulitan yang dihadapi terdakwa maupun penasehat hukumnya.
Media massa setempat merupakan sarana yang sangat terbatas bagi kami untuk dapat mengikuti  jalannya  berbagai  persidangan yang  ber-langsung di  Jakarta  dan  kota-kota  besar lainnya. Sebab para terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak diberi kesempatan yang cukup me-nyampaikan keterangan-keterangan yang bersifat sanggahan atau peno-lakan, dibandingkan dengan tuduhan-tuduhan jaksa yang secara rinci disiarkan oleh media massa.
Buku ini dapat tampil di hadapan pembaca, semata-mata berkat kegi-gihan dan kerja keras tim peduli tapol yang bekerja sejak tahun 1985. Kami mempersembahkan buku ini kepada ratusan kaum muslimin yang menjadi korban penyiksaan dan penghinaan di tangan para Jallad (algojo). Sungguh, sebagian besar dari mereka sekarang ini sudah uzur,  dan lainnya menerima perlakuan keji yang tidak adil.
Tim Peduli Tapol
AMNESTI INTERNASIONAL


EmoticonEmoticon