INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP PPP



Akibat kemajuan yang diperoleh   PPP dalam Pemilu 1977, pemerintah merasa yakin bahwa rekayasanya untuk menggagalkan organisasi-organisasi   Islam dan menguasai partai tersebut tidak berhasil. Oleh karena itu, pemerintah mengambil keputusan untuk merubah format PPP agar menjadi alat yang loyal. Pemerintah memperkenankan tetap berdirinya partai-partai kecil, kecuali PKI  agar  sistem  diktatornya dapat  terlihat  sebagai  sesuatu  yang  demokratis dengan  adanya banyak partai. Terutama sekali partai-partai ini dibiarkan untuk mengambil peran pinggiran dan selalu memberi dukungan penuh kepada pemerintah. Setelah pemilu 1977, secara umum strateginya mengarah kepada campur tangan (intervensi) ke dalam urusan internal partai. Misalnya, dengan cara memasukkan pegawai-pegawai negeri ke dalam partai-partai itu, dan duduk sebagai pimpinan teras, walau dengan jalan memberi suap dan mengintimidasi orang- orang dengan berbagai cara ilegal. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa orang-orang yang berani menentang pemerintah pasti akan tersingkir.
Tipu daya ini dengan mudah dapat diamati setelah terjadinya fusi partai-partai secara paksa. Pada saat yang bersamaan dengan digabung-kannya partai-partai Islam ke dalam PPP, maka pemerintah juga  meminta  kepada  partai-partai nasionalis dan  Kristen  untuk  melakukan fusi dengan   membentuk   PDI   (Partai   Demokrasi   Indonesia).   Partai-partai   ini   dengan   cepat menerimanya atas saran pemerintah yang pandai melakukan tipu daya ini. Adapun PPP masalahnya  berlainan,  karena  kepribadiannya  berbeda.  Sejak  awal  terlihat  bahwa  banyak kesulitan yang dihadapi untuk menerima rencana pemerintah ini, dan pemerintah tidak mungkin mela-kukan tekanan penuh terhadap partai ini kecuali setelah tahun 1984. Pada akhir dasawarsa
1970-an ada beberapa pendapat yang bermaksud untuk melemahkan internal PPP. Akan tetapi para tokoh politik NU menentang rencana undang-undang ormas dan orpol yang diajukan kepada MPR, sebagai lembaga tertinggi untuk membuat gagasan baru yang ingin memaksakan asas baru yang disebut Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh bangsa. Para Kiai semakin gusar terhadap  Soeharto  yang  dikultuskan  sedemikian  rupa,  seperti  diangkatnya  Soeharto  sebagai Bapak Pembangunan dan dicalonkannya dia untuk jabatan Presiden yang ketiga kalinya. Pertentangan ini semakin mendalam, dan puncaknya mencuat tatkala Parmusi sebagai eksponen PPP yang kemudian disebut dengan MI (Muslimin Indonesia) membuat daftar calon PPP dalam pemilu 1982. Dalam membuat daftar calon  sama sekali tidak menyertakan unsur-unsur lain dari PPP.  Tujuannya adalah menyingkirkan calon-calon NU  yang  bersikap oposan dan  menutup segala pintu yang memungkinkan masuknya orang-orang NU ke dalam parlemen. Dan usaha- usaha yang dilakukan NU untuk membatalkan keputusan ini tidak membawa hasil sedikitpun.
Penggusuran semacam ini membuat anggota-anggota NU yang kritis   mengajukan gagasan untuk meninggalkan partai dan kehidupan politik serta menarik diri dari PPP dan kembali kepada khittah 1926. KH. Abdurrahman Wahid memimpin kelompok yang mendukung pengun-duran diri NU dari PPP. Dia adalah cucu pendiri organisasi ini, dan salah seorang alumni pesantren. Akan tetapi  para politikus partai di Jakarta di bawah pimpinan Idham Chalid menentang gagasan pengunduran diri. Sebagai puncak pertentangan ini, pemerintah kemudian mengeluarkan RUU yang mewajibkan setiap orpol dan ormas menjadikan   Pancasila sebagai asas tunggal seluruh bangsa. RUU ini baru berhasil menjadi undang-undang pada tahun 1985 sehingga memunculkan perselisihan baru antara kaum muslimin dan pemerintah.
Setelah beberapa bulan NU mengadakan konfrensi, maka pada akhir 1983 dengan terus terang Abdurrahman Wahid menyerukan supaya kembali kepada khittah 1926. Namun pengunduran diri NU dari arena politik, tidak berhasil menyelesaikan persoalan partai dalam melakukan kerjasama dengan pemerintah. Sebaliknya kelompok Abdurrahman Wahid berusaha untuk mendekati Soeharto  agar  mengizinkan diberlang-sungkannya muktamar  nasional,  dimana  Abdurrahman Wahid   beroposisi   terhadap   kepemimpinan   Idham   Chalid.   Soeharto   merasakan   adanya keuntungan, dalam melakukan kolaborasi dengan para Kiai lokal yang mendapatkan dukungan dari  berbagai  kalangan,  daripada  bergantung  kepada  tokoh  politik  Jakarta  yang  berada  di sekeliling  Idham  Chalid.  Para  tokoh  ini  hanya  mewakili  kepentingan  dirinya  sendiri,  dan beberapa orang lainnya yang hanya melakukan kritikan kepada pemerintah.
Delegasi kedua NU pimpinan Gus Dur, tidak merasa berkeberatan untuk menerima Pancasila sebagai asas partai. Hal ini dilakukan oleh NU jauh sebelum pemerintah  mewajibkannya, dan jauh sebelum NU bergabung ke dalam PPP telah dapat mengadakan kontak langsung dengan pejabat  pemerintah.  Abdurrahman  Wahid   biasa   mondar-mandir  ke   istana   negara   untuk menghadap  presiden  Soeharto  dan  secara  teratur  datang  menemui  petinggi-petinggi  militer
khususnya Panglima ABRI, Jendral Beny Murdani. NU yang telah menjauhkan diri dari politik,
berubah menjadi alat politik yang loyal pada pemerintah, sehingga mereka kemudian mengabdi kepada kepentingan politik pemerintah.
Akan halnya PPP  minus NU  merupakan kekuatan yang  tidak berarti, apalagi kemudian terkoyak-koyak menjadi kelompok-kelompok yang saling    bersaing. Dengan bersedianya menerima asas tunggal, mereka kemudian mengikuti pemilu tetapi dalam kondisi lemah seperti yang dialami PDI. Tak seorangpun menilai bahwa PPP mencerminkan sema-ngat politik Islam. NU meminta anggotanya menggembosi PPP menjelang diadakannya pemilu, sehingga mengakibatkan tak  seorangpun memberi-kan suaranya.  Dengan  demikian  NU  merasa  yakin bahwa tidak ada lagi partai politik di Indonesia yang mewakili kepentingan umat Islam. Ketika

PPP tidak lagi menampakkan simbol-simbol ke-Islaman, maka dia sudah dianggap bukan merupakan partai Islam lagi. Golkar sebagai partai militer dengan penuh kegigihan berusaha untuk menjadi corong Islam di Indonesia. Kami katakan dengan sebenarnya, bahwa umat Islam yang ber-gabung di Golkar jauh lebih banyak dibandingkan yang ada di partai-partai lain.
Ketika wakil ketua Golkar, Drg. Abdul Ghafur, menguasai koran Pelita, korannya PPP, maka kenyataan ini menjadi lebih jelas. Dengan demikian kini telah menjadi kenyataan bahwa  benar- benar kaum muslimin sudah tidak terwakili dalam percaturan politik pada umumnya.


EmoticonEmoticon